Goresan Pena Risky Amaliyah

Kamis, 21 April 2016

PUISI



Tentang kita


Pelik cerita perkawanan kita



Memelihara gengsi hingga tak mau bersua



Menahan rasa amarah di dada



Menyelami benak lewat tatap mata



Aku dan kau melawan nelangsa



Mencari-cari tempat terbaik menghempas lelah



 Menutup mata merasakan heningnya kesenjaan



Mengingat-ingat apa yang salah diantara kita



Jelas bukan ini yang kita cari



lenyapkan kekohesifan yang pernah terjalin



sadar akan keangkuhan merusak segalanya



namun tak pernah kita mencoba mencari jalan keluar



kita biarkan amarah membusuk di dalam hati



hingga menyebar ke sekujur tubuh dan  terurai



kenangan indah kita pun tak mampu jadi saksi



hingga aku dan kau tersudut karena emosi



 



 

CERPEN



Without My Lover
By Risky Amaliyah

hujan lebat mengguyur tubuhku yang terbaring kaku di bahu jalan. Aku tak mampu menggerakan badan sama sekali. Sekuat tenaga kucoba membuka mata. Aku melihat Refan terbujur kaku dan darah mengalir deras dari kepalanya. Samar-samar terdengar beberapa pemuda berlari ke arahku.
“tolong, cepat kesini! Dia banyak kehilangan darah” lalu, seketika semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun di ruangan yang sangat asing bagiku. “ ini dimana?” tanyaku pada wanita yang mengenakan pakaian serba putih.
“syukurlah kamu sudah sadar, kamu sekarang ada di rumah sakit” jawabnya. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi. “istirahatlah, sebentar lagi dokter akan datang memeriksamu” suster itu kemudian keluar dari ruangan.
Aku mencoba mengingat-ingat kembali kejadian semalam yang menimpa diriku dan tunanganku, Refan. Aku mengingat malam itu hujan lebat, Refan menyetir mobil dengan laju cukup tinggi. Oh tidak, aku mulai ingat. Refan berhenti mendadak karena mobil dari arah berlawanan yang juga melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah kami. Mobil itu lepas kendali. Refan mencoba menghindar namun naas mobil kami menabrak trotoar jalan hingga aku terlempar keluar. Dan Refan, aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Dimana dia?
“Fina” pandanganku tertuju pada wanita yang masuk ke dalam kamar.
“Seli, dimana Refan? Aku pengen ketemu” tanyaku berharap Ia tahu. Namun Seli tak menggubrisnya. Ia justru memelukku dan berkata bahwa Refan koma. Bagaimana aku bisa tenang dengan keadaan seperti ini. Sebentar lagi adalah hari pernikahanku. Aku menangis dalam pelukan Seli. Aku berharap semua ini hanya mimpi.
***
Dua minggu di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku pulang. Seli membantu membereskan semua barang-barangku. Aku beruntung memilikinya, dia tidak hanya sebagai sahabat, tapi sudah seperti saudaraku.
“Sel, gimana kabarnya Refan? Apa ada perkembangan?” aku merasa sedih. Aku sangat mengkhawatirkannya.
“hm, kamu gak usah khawatir ya. Kita doain aja yang terbaik” sorot mata Seli seakan menyimpan kesedihan yang Ia coba tutupi dariku.
 “untuk saat ini kamu jangan dulu temuin Refan. Kata dokter dia benar-benar harus istirahat total” ujarnya.
Aku hanya mengangguk. Kemudian Seli menuntunku naik ke atas kursi roda. Aku menghela napas. Berharap Refan segera sadar dan baik-baik saja. Amin.
Setibanya di rumah, Seli kembali menuntunku menuju kamar. Perlahan aku merebahkan tubuh di atas kasur yang kurindukan. Meski aku sudah di rumah, pikiranku berkelana memikirkan Refan. “Fin, aku pergi dulu ya. Mama minta di jemput nih” aku mengangguk. Seli pun berlalu.
Aku memejamkan mata mencoba untuk tidur, namun tiba-tiba terdengan seseorang mengetuk pintu. Aku menuju ke ruang tamu lalu membuka pintu. Oh Tuhan, terimakasih.
“kamu gak apa-apakan?” aku memeluk Refan. “aku gak apa-apa” Refan membalas pelukanku.
Aku mengajaknya masuk ke dalam rumah. Aku menceritakan semua kegelisahanku selama ini sejak ia tak berada disisiku. Aku sangat bahagia dia baik-baik saja. Refan mengatakan bahwa ia sudah mendapat izin dari dokter untuk pulang hari ini. Karena rindu yang tak berkesudahan, ia menemuiku.
“tapi kamu masih keliatan lemes, muka kamu juga pucat, bener kamu udah baikan?”
“iya bener. Kamu gak usah khawatir ya. Aku kesini untuk ketemu sama kamu”
Aku tersenyum. Rasa syukur tak henti ku panjatkan pada-Nya.
“oh iya, Fin. Apa kamu gak keberatan kalau besok pagi kita pergi fitting baju pengantin?” tanya Refan.
“ya enggaklah. Justru aku pengen banget” aku tak sabar menunggu hari bahagia itu datang.
***
“gimana Fan? Cantik gak?” aku berputar-putar dengan gaun putih indah yang kukenakan.
“kamu cantik” Refan memujiku dengan senyum manis di bibirnya.
“kita akan menjadi pasangan serasi di dunia ini wahai pangeranku” kataku menirukan gaya bicara film-film romantis yang pernah ku tonton. Refan kembali tersenyum. Dia terlihat sangat tampan. Satu stel jas pengantin pria yang serasi dipakai olehnya. Aku bahagia. Sungguh.
“setelah ini, kita mau kemana lagi?”
“kita pergi membeli cincin”
“Fan, sungguh. Aku seneng banget. Aku udah gak sabar menunggu hari itu datang”
“aku hanya ingin membahagiakan kamu selagi masih ada waktu” katanya.
“selagi ada waktu? Maksud kamu?” tanyaku kebingungan.
“ngak kok. Hehehe. Udah ah kita berangkat sekarang. Masih banyak yang harus kita urus”
Aku dan Refan kemudian menuju ke mobil. Kami berkeliling mengunjungi setiap sudut kota. Hari ini aku dikelilingi kebahagian. Inilah yang orang-orang sering katakan “seakan dunia milik berdua”.
Hari sudah sore, matahari mulai surut di ufuk timur.
“sore yang indah” kataku memandang laut lepas.
Refan menggengam tanganku. Aku pun membalasnya.
“aku selalu berharap hari itu segera datang. Melihat kamu tersenyum bahagia. Orang-orang menyaksikan kita bersanding di pelaminan. Mereka datang pada kita bersalaman dan mengucapkan selamat” ujarnya.
Aku senang Refan juga mengharapkan hal yang sama sepertiku.
“Fan, apa kamu sudah siap menikah denganku?” tanyaku membuat Refan menatapku dengan tajam.
“untuk apa aku melakukan ini semua? Kamu tidak perlu menanyakan hal ini. Kamu tahu jelas apa yang aku inginkan. Adalah menikah denganmu”
Aku menangis haru. Bahagia rasanya mencintai dia yang mencintaiku. Hingga tanpa sadar, hari pun makin gelap. Lalu Refan mengantarku Pulang. Meskipun aku yang mengemudi, tetap saja aku anggap dia mengantarku pulang.
***
“Fin, bangun” cahaya masuk dari jendela yang dibuka Seli menusuk mataku.
rupanya aku bangun kesiangan. sepertinya aku kelelahan hingga tertidur pulas semalaman.
“kamu dari mana saja? Kemarin aku kesini tapi kamu gak ada. Handphone kamu juga gak aktif” ujar Seli dengan kesal.
“ya maaf, Hp aku lobet kali. Lagian kamu gak usah khawatir. Aku jalan sama Refan”
“hah! Refan?” Seli terkejut mendengar nama Refan. Sorot matanya menajam.
Ia mencoba memeriksa keadannku dengan meletakkan tangannya di keningku. Mungkin Ia Memastikan apa aku sakit atau tidak.
“kamu kenapa sih? Aku baik-baik aja”
“Fin, tapi Refan udah gak ada. Semalam mamanya telelpon aku. dia udah meninggal. Setelah koma beberapa minggu di rumah sakit. Maafin aku gak ngabarin kamu semalam, aku pikir lebih baik aku ngomong ini langsung ke kamu” Sila memelukku dengan erat sambil menangis.
Aku tidak percaya. “enggak Sel, aku beneran jalan sama Refan. Kamu lihat, ini semua aku beli sama dia kemarin. Aku gak percaya” aku masih tidak percaya. Aku meraih baju pengantinku, memeluknya erat. Aku tetap tidak percaya, tapi tak kuasa, air mataku pun jatuh tak terbendung. Sila semakin erat memelukku. Aku menangis sejadinya. “aku gak percaya”.
Air mataku mengalir deras. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak, tidak mungkin. Kami akan menikah. Refan tidak mungkin menghianatiku. “Sel, Refan gak mungkin...” aku terpenggal-penggal. Seli terus mendekapku. Aku tidak percaya.


Rabu, 20 April 2016

Model Komunikasi Schramm



Model Komunikasi Schramm

          Wilbur Schramm membuat serangkaian model komunikasi, dimulai dengan model komunikasi manusia yang sederhana (1954), lalu model yang lebih rumit yang memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi, hingga ke model komunikasi yang dianggap interaksi dua individu.
            Menurut Wilbur Schramm, komunikasi senantiasa membutuhkan setidaknya tiga unsur: sumber (source), pesan (message), dan sasaran (destination). 
1.  Model pertama mirip dengan model Shannon dan Weaver.  Model ini didasari paradigma stimulus-respons. Menurut paradigma ini, komunikan akan memberikan respons sesuai stimulus yang diterimanya. Komunikan adalah makhluk pasif, menerima apapun yang disampaikan komunikator kepadanya. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pasif menerima pesan, pesan berlangsung searah dan relatif tanpa umpan balik, karena itu disebut linear.


 

2. Model kedua Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan dalam bidang pengalaman sumber dan sasaran-lah yang sebenarnya dikomunikasikan, karena bagian sinyal itulah yang dianut sama oleh sumber dan sasaran.


Sumber dapat menyandi dan sasaran dapat menyandi-balik pesan, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya masing-masing. Bila kedua lingkaran memiliki wilayah bersama yang besar, maka komunikasi mudah dilakukan. Semakin besar wilayah tersebut, semakin miriplah bidang pengalaman (field of experience) yang dimiliki kedua pihak yang berkomunikasi. Bila kedua lingkaran itu tidak bertemu -artinya bila tidak ada pengalaman bersama –maka komunikasi tidak mungkin berlangsung. Bila wilayah yang berimpit itu kecil –artinya bila pengalaman sumber dan pengalaman sasaran sangat jauh berbeda –maka sangat sulit untuk menyampaikan makna dari seseorang kepada orang lain.


 






3. Model ketiga Schramm, menganggap komunikasi sebagai interaksi dengan kedua pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi-balik, mentransmisikan, dan menerima sinyal. Disini kita melihat umpan balik dan lingkaran yang berkelanjutan untuk berbagai informasi. Model komunikasi yang digambarkan oleh Osgood dan Schramm ini terutama berlaku untuk bentuk-bentuk komunikasi antar pribadi. Dijelaskan bahwa proses komunikasi berjalan secara sirkuler, dimana masing-masing pelaku secara bergantian bertindak sebagai komunikator/sumber dan komunikan/penerima.

Proses komunikasinya dapat digambarkan demikian: pertama, pelaku komunikasi yang pertama kali mengambil inisiatif sebagai sumber/komunikator membentuk pesan (encoding) dan menyampaikan melalui suatu saluran komunikasi tertentu kepada lawan komunikasinya yang bertindak sebagai penerima/komunikan. Saluran komunikasi yang dipergunakan dapat bermacam-macam. Misalnya: telepon, surat, atau kalau bentuk komunikasinya adalah percakapan langsung secara tatap muka maka yang menjadi salurannya adalah gelombang udara.
Kedua, pihak penerima/komunikan kemudian setelah menerima pesan akan mengartikan (decoding) dan menginterpretasikan (interpreting) pesan yang diterimanya. Apabila ia (penerima/komunikan) mempunyai tanggapan atau reaksi, maka selanjutnya ia akan membentuk pesan (encoding) dan menyampaikannya kembali. Kali ini ia bertindak sebagai sumber, dan tanggapan atau reaksi disebut sebagai umpan balik.
Ketiga, pihak sumber/komunikator yang pertama sekarang bertindak sebagai penerima/komunikan. Ia akan mengartikan dan menginterpretasikan pesan yang diterimanya, dan kalau ada tanggapan/reaksi, kembali ia akan membentuk pesan dan menyampaikannya kembali ke pasangan komunikasinya. Demikianlah proses ini berlangsung terus menerus secara sirkuler. Dengan demikian, menurut model ini masing-masing pelaku komunikasi akan terlibat dalam proses pembentukan pesan (encoding), penafsiran (interpreting) pesan, serta penerimaan dan pemecahan kode pesan (decoding).

 











Sumber:
Mulyana, Deddy. 2013. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Rohim, Syaiful. 2009. TEORI KOMUNIKASI perspektif, ragam & aplikasi. Jakarta: PT      Rineka Cipta
Modul Pengantar Komunikasi oleh Sasa Djuarsya Senjaya