KLASIFIKASI TEORI
1.
Grand Theory
Grand
Theory adalah teori yang secara
keseluruhan (garis besar) mencoba menjelaskan suatu peristiwa atau kasus. Grand
theory istilah yang diciptakan oleh C. Wrihgt Mills (1959) dalam “the
sociological imagination”. Grand theory menekankan pada konsep keseimbangan,
pengambilan keputusan, sistem dan bentuk komunikasi sebagai sarana dasar perangkat pengatur untuk mengakaji hubungan
internasional.
Grand
theory dicetuskan oleh John dollard dan Neal E. Miller. Inti teori ini menyatakan
bahwa ketika suatu individu diberikan stimulus tertentu, maka individu tersebut
akan memberikan respon tertentu pula.
Grand theory
adalah teori dalam arti luas, bertujuan untuk menjelaskan mengenai semua
perilaku komunikasi dengan cara yang benar secara universal.
Yang termasuk
dalam grand theory diantaranya adalah sebagai berikut.
1)
Teori interaksionisme
Simbolik
Menurut
Kamus komunikasi (Effendy 1989:184) interaksi adalah proses saling mempengaruhi
dalam bentuk perilaku atau kegiatan diantara anggota-anggota masyarakat.
Sedangkan simbolik artinya melambangkan sesuatu.
Teori
ini berasal dari George Harbert Mead (1863-1931) meluncurkan sebuah catatan
“The Theoritical Perspective” yang perkembangannya menjadi cikal bakal teori
interaksi sosial. Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan
makna dari suatu pesan verbal akan mempengaruhi pikiran seseorang yang sedang
berintraksi.
Perilaku
seseorang di pengaruhi oleh symbol yang diberikan oleh orang lain melalui
pemberian isyarat berupa symbol maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran,
maksud dan sebaliknya dengan cara membaca symbol yang ditampilkan orang lain.
Teori
interaksi simbolik menekankan pada interaksi dan symbol, serta inti dari
pandangan pendekatan ini adalah individu. Menurut Ralph Larossa dan Ronnad C
Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008:96) interaksi simbolik pada intinya
menjelaskan tentang kerangka referensi bagaimana manusia bersama orang lain
menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Interaksi
simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari
pemikiran manusia mengenai diri dan hubungannya di tengah interaksi sosial dan
bertujuan akhir untuk memediasi serta menginterprestasi makna di tengah
masyarakat, dimana individu tersebut menetap.
Tiga tema
konsep pemikiran George Harbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara
lain:
a)
Pentingnya makna bagi perilaku manusia
b)
Pentingnya konsep mengenai diri
c)
Hubungan antara individu dan masyarakat
2)
Teori Marxisme
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti
pandangan-pandangan dari Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang
berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem politik. Pengikut
teori ini disebut sebagai Marxis. Teori ini merupakan dasar teori komunisme
modern. Teori ini tertuang dalam buku Manisfesto Komunis yang dibuat oleh Marx
dan sahabatnya, Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes Marx
terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang
dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan
karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum sementara hasil keringat
mereka dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di
daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena
adanya "kepemilikan pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi
orang-orang kaya. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa
paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan,
menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Itulah dasar
dari marxisme.
3)
Teori Tindakan Sosial
Teori
ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sosiolog sebelumnya, seperti
Alfred Marshall, Vilfredo Pareto, Emile Durkheim, dan Max Weber yang dituangkan
dalam karyanya The Structure of Social Action (1937). Inti argumennya adalah
bahwa keempat tokoh teoretisi tersebut akhirnya sampai pada suatu titik temu
dengan elemen-elemen dasar untuk suatu teori tindakan sosial yang bersifat
voluntaristik, walaupun mereka berbeda dalam titik tolaknya. Dalam analisisnya,
Parsons menggunakan kerangka alat tujuan (means ends framework) yang intinya:
(a) tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau
memiliki suatu tujuan;
(b) tindakan terjadi dalam suatu situasi, di mana beberapa
elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang
bertindak sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut:
(c) secara normatif tindakan itu diatur sehuhungan dengan penentuan
alat dan tujuan. Dalam arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan
sosial yang paling kecil dan paling fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu
tindakan adalah tujuan, alat, kondisi, dan norma (Johnson. 1986: 106). Antara
alat dan kondisi itu berbeda, orang yang bertindak mampu menggunakan alat dalam
usahanya untuk mencapai tujuan, sedangkan kondisi merupakan aspek situasi yang
dapat dikontrol oleh orang yang bertindak.
4)
Teori Sistem Sosial
Teori ini melihat bahwa kenyataan
sosial dari suatu perspektif yang sangat luas, tidak terbatas pada tingkat
struktur sosial saja. Berulang kali ia menunjuk pendekatannya sebagai suatu teori
mengenai tindakan yang bersifat umum, ia ungkapkan ide-idenya tersebut dalam
karyanya Toward A General Theory of Action (1951a) bersama Edward A. Shils
dalam The Social System (1951b). Sistem sosial hanyalah salah satu dari
sistem-sistem yang termasuk dalam perspektif keseluruhan. Sistem kepribadian
dan sistem budaya merupakan sistem-sistem yang secara analitis dapat dibedakan,
termasuk di dalamnya. Dalam analisis lebih lanjut, sistem-sistem sosial
terbentuk dari tindakan-tindakan sosial individu.
Dalam
teori sistem sosial tersebut, Parsons dan rekan-rekannya mengembangkan kerangka
A-G-I-L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latent Pattern
Maintenance) (Johnson, 1986: 129-131), sebagai empat persyaratan fungsional
dalam semua sistem sosial yang dikembangkan.
Adaptation
menunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi
lingkungannya yang bersifat transformasi aktif dari situasi yang pada umumnya
segi-segi situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan
dan inflexible suatu kondisi yang tidak dapat ataupun sukar diubah.
Goal Attainment merupakan persyaratan
fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu selalu diarahkan pada tujuannya,
terutama pada tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial.
Integration merupakan persyaratan yang
berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam suatu sistem sosial.
Latent Pattern Maintenance menunjukkan pada
berhentinya interaksi, baik itu karena letih maupun jenuh, serta tunduk pada
sistem sosial di mana dia berada.
Keempat
persyaratan fungsional tersebut dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan
yang juga terlibat dalam saling tukar antar lingkungan. Lingkungan sistem
sosial terdiri atas lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme
perilaku. Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah
dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui
sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut.
(1) Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu
sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
(2) Dengan demikian, hubungan pengaruh saling
memengaruhi di antara bagian bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal
balik.
(3) Sekalipun integrasi sosial tidak pernah
dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu
cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi
perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar
perubahanperubahan yang terjadi di dalam sistem, sebagai akibatnya hanya akan
mencapai derajat yang minimal.
(4) Sekalipun
disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi juga. Akan tetapi, di
dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan
sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan
lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan
pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah
itu.
(5) Peruhahan
di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian,
dan tidak berlangsung secara revolusioner. Peruhahan yang terjadi secara
drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur
sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami
perubahan.
Namun, untuk
sosiologi tidak sepenuhnya berlaku grand theory seperti itu sebab belakangan
ini pun banyak terjadi perubahan. Walaupun pada mulanya ketika bidang sosiologi
muncul, suatu pencarian untuk penjelasan tingkah laku manusia yang tunggal dan
sesuatu teori penekanannya yang nonempirik mendominasi bidang tersebut. Awal
kehadiran para ahli sosiologi, seperti Auguste Comte dan para pengikutnya, pada
umumnya mereka adalah orang-orang di belakang meja (sarjana salon) di mana mereka
sebagai sosiolog tidak melakukan riset empiris.
Sebaliknya,
dalam sejarah ringkas sosiologi, selain memiliki ahli Grand Theory, juga
memiliki peneliti-peneliti yang bersifat empiris ternama, khususnya pada
generasi kedua, seperti sarjana sosiologi George Homans, Paul F. Lazarsfeld,
dan Robert K. Merton adalah ahli teori dan penganut aliran empirisme. Pada saat
sekarang ini, semakin banyak ahli teori sosiologi yang melakukan penelitian
empiris. Begitu pun tidak menutup kemungkinan para ahli sosiologi akan mungkin
dapat merumuskan perpaduan Grand Theory dan empirisme sekali waktu di masa
sekarang maupun mendatang.
2.
Mid-range Theory
Mid-range
Theory adalah teori dalam arti menegah yang berusaha menjelaskan perilaku
komuikasi sekelompok orang berdasarkan konteks, waktu, tipe perilaku komuikasi
dll.
Mid
range teori dikemukakan oleh sosiolog Amerika Robert Merton dalam “social
theory and social structure” (1957).
Yang termasuk
dalam mid-range theory diantaranya adalah sebagai berikut.
1)
Uncertainly reduction theory (teori pengurangan ketidakpastian)
Uncertainly reduction theory adalah
teori yang dikemukakan oleh Charles Berger & Richard Calabrese (1975).
Teori ini membahas tentang sebuah proses komunikasi diantara individu yang
sebelumnya tidak saling kenal, menjadi saling kenal sehingga dapat megurangi
ketidak pastian dalam komunikasi dan kemudian memutuskan untuk melanjutkan
komunikasi atau tidak. Dikatakan juga bahwa teori ini berhubungan dengan
cara-cara kita mengumpulkan informasi tentang orang lain. Atau secara singkat
teori ini membahas tentang bagaimana seseorang mengurangi ketidak pastian saat
berhadapan dengan orang asing.
2)
Groupthink theory (teori pemikiran kelompok)
Teori pemikiran kelompok ini lahir dari
penilitian panjang Irvin L Janis. Janis menggunakan istilah groupthink untuk
menunjukkan suatu mode berpikir sekelompok orang yang bersifat kohesif dimana
pemikiran ini muncul dari anggota kelompok yang berusaha keras untuk mencapai
kata mufakat.
Di groupthink meninggalkan cara
berpikir individu dan menekankan pada proses kelompok.
3)
Face negotiation theory
Face
negotiation theory di cetuskan oleh Stella Ting Tommey pada tahun 1985. Teori
ini membantu menjelaskan perbedaan budaya untuk membantu mengelola konflik
dalam aspek komunikasi. Teori ini dikembangkan untuk memprediksi perilaku
seseorang untuk menyempurnakan identitas mereka dalam kebudayaan berbeda.
3.
Narrow Theory
Narrow teori adalah teori dalam arti
sempit yang berusaha untuk menjelaskan suatu aspek yang terbatas dari suatu
fenomena komunikasi. Lebih menekankan pada orang-orang tertentu pada situasi
tertentu pula.
Yang termasuk
dalam narrow theory diantaranya adalah:
1)
Teori Penetrasi Sosial
Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan
oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum
membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan
bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses
gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam
bahasa Altman dan Taylor penetrasi
sosial.
Dalam
perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa
penjabaran sebagai berikut:
Pertama,
Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan
terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang
hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada
membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin
ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita
hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin
mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit
pula.
Kedua,
keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama
pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu
hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri,
dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau
semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut
semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka. Dan
juga semakin tidak bersifat timbal balik.
Ketiga,
penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin
masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”.
Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang. Dan biasanya
banyak dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan
yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan
suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata
mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil,
lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.
Keempat,
depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya
adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha
semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak
secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap, dan semakin
memudar.
Dalam teori penetrasi sosial,
kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama
pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam beberapa hal tertentu yang bersifat
pribadi kita bisa sangat terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita. Akan
tetapi bukan berarti juga kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang
lainnya. Mungkin kita bisa terbuka dalam urusan asmara, namun kita tidak dapat
terbuka dalam urusan pengalaman di masa lalu. Atau yang lainnya.
sumber: